BTS

BTS
BTS

Wednesday, July 20, 2011

Love Really Hurts (Hyobin POV)


Super Junior Fanfic
Main cast: Ryeowook, Hyobin (as readers)
Support cast: Sungmin, Yesung, Kyuhyun
Genre: Romance
Ratings: General/all age
author: @khansa_aquaizan / Song Sanra





This FF I made for someone special ^^ Hope you like it






Love Really Hurts

Aku menarik napas dalam-dalam. Aku gugup sekali. Sekali lagi aku mengangkat tanganku. Ayolah, hanya memencet bel saja tanganku sudah keringat dingin seperti ini? Aku mengepalkan tangan kiriku. Aku harus kuat!
Ting tong, akhirnya tanganku berhasil menekan tombol berwarna putih itu. Sebentar lagi orang itu pasti akan membukakan pintunya untukku.
Clek, terdengar suara pintu yang dibuka. Tak lama kemudian, muncul sesosok pria yang sangat kucintai. Ia tampak sangat kaget dengan kedatanganku.
“Hyobin?”
Oppa!” aku menyunggingkan senyum termanisku dan memeluk Ryeowook, pacarku. Aku rindu sekali padanya.
Ryeowook membalas pelukanku. Namun, entah kenapa aku merasa pelukannya tidak seperti biasanya.
“Ada apa kau jauh-jauh ke sini?” tanyanya ramah seraya melepaskan pelukanku. “Ayo, masuk!”
Sepertinya tidak sia-sia semalaman aku berlatih tersenyum. Aku bergegas melepaskan sepatuku. Dari ekor mataku, aku bisa melihat kalau ia sedang memperhatikanku. Untung saja hari ini aku mengenakan baju yang longgar sehingga ia tidak dapat melihat perubahan pada bentuk tubuhku.
“Kau sudah sarapan?” tanya Ryeowook penuh perhatian.
Aku mengangguk sambil menatap wajahnya, tapi tidak berani menatap matanya. Padahal sejak kemarin malam aku belum makan sama sekali. Aku tidak nafsu makan. Apalagi kalau aku memikirkan bahwa aku harus menceritakan semuanya pada Ryeowook.
“Kau bohong!” tukasnya tiba-tiba mengagetkanku.
Mataku terbelalak, jantungku berdetak dengan keras. A-apa Ryeowook sudah tahu kalau aku…
“Aku akan membuatkan sarapan untukmu, chagiya.”
Aku mendesah lega. Syukurlah kalau ia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Tapi ngomong-ngomong, darimana ia tahu kalau aku berbohong?
Aku beranjak ke dapur dan melihat Ryeowook sedang membuat omelet, makanan kesukaanku. Ia mencampurkan telur, terigu, susu, dan bumbu-bumbu lainnya, mengaduknya sebelum akhirnya ia menuangkan adonan tersebut ke dalam wajan.
Aku tersenyum melihatnya. Ya, dia memang tipe idealku. Laki-laki yang pintar memasak dan pandai menyanyi. Aku mengepalkan tanganku, berusaha menahan diriku untuk tidak memeluknya, tapi…
Chagiya?”
Pelukanku yang tiba-tiba sedikit mengagetkannya. Aku sendiri juga tidak tahu sejak kapan kakiku berlari menghampirinya, sejak kapan tanganku melingkari pinggangnya, dan sejak kapan kepalaku bersandar pada punggungnya? Aku ingin sekali menarik tubuhku agar menjauh darinya.
Ryeowook mematikan kompornya. Omeletnya sudah matang. Ia lalu membalikkan tubuhnya, dan menatap wajahku. Aku balas menatapnya. Ya, aku harus mengatakan hal itu padanya. Sekarang!
 “Aku kangen,” ujarku tiba-tiba. Bukan itu, bukan itu yang seharusnya aku katakan!
 Ryeowook hanya tersenyum, tapi bagiku senyumannya itu seperti menertawakanku.
Oppa juga,” balasnya. “Oppa juga kangen Hyobin.”
Ryeowook kemudian melonggarkan pelukannya. Ia mencium keningku, hidungku, lalu… aku memejamkan mataku.
“Omeletnya bisa dingin kalau tidak lekas dimakan,” ujarnya sambil melepaskan pelukan. “Ayo, kita makan!”
Aku terdiam. Bukankah biasanya setelah mencium hidungku ia langsung mencium bibirku? Kenapa tadi…
Aku hendak protes, tapi entah kenapa lidahku terasa kelu sekali. Aku menarik kursi. Di hadapanku sudah ada sepiring omelet yang siap disantap. Hanya mencium aromanya saja membuat nafsu makanku pulih.
“Hmm… ini enyak cekali,” kataku dengan mulut penuh omelet.
Ryeowook yang duduk di depanku tertawa. Sekali lagi ia menertawakanku.
“Itu karena aku sudah lama tidak membuatkan makanan untukmu, makanya omelet itu terasa enak,” ujarnya. “Oh iya, aku juga menambahkan bumbu rahasia.”
“Bumbu apa?” tanyaku penasaran.
“Bumbu cinta,” gombal Ryeowook.
Deg, jantungku berdebar dengan keras. Rasanya aku akan…
“Oppa, bisa tolong ambilkan minuman untukku?”
“Oke,” sahutnya seraya meninggalkanku sendiri di meja makan.
Aku buru-buru menghapus air mataku yang mulai menggenang di kelopak mataku. Sakit sekali rasanya jika aku harus menyembunyikan hal ini dari Ryeowook.
“Ini.” Ryeowook datang sambil menyodorkan segelas air putih padaku.
Aku langsung meneguknya hingga habis. Aku gugup sekali.
“Oh iya, ada perlu apa kau ke sini, chagiya?” tanya Ryeowook setelah aku selesai makan. “Kenapa tidak memberitahuku dulu?”
Keringat dingin mulai meluncur di keningku. Namun aku buru-buru tersenyum, menyembunyikan kepanikanku. “Eh, itu… A-aku tiba-tiba ingin bertemu dengan oppa,” jawabku ala kadarnya.
“Tapi kau kan bisa meneleponku dulu? Paling tidak oppa bisa menjemputmu di bandara,” ujarnya. “Seandainya kau meminta oppa ke Seoul pun, oppa rela meningalkan pekerjaan oppa dan pergi ke sana.” Ryeowook mengatakannya dengan tulus.
Ugh, kenapa oppa baik sekali? Apa oppa tahu kalau kebaikan oppa membuat hatiku sakit? Maafkan aku, oppa. Aku tidak ingin oppa datang ke Seoul. Aku tidak ingin oppa tahu bahwa aku…
Lima tahun yang lalu aku mendapatkan pekerjaan sebagai asisten penata rias Super Junior. Aku senang sekali pada saat itu. Apalagi aku adalah penggemar beratnya Ryeowook. Aku bisa bekerja di SME berkat onni Sanra, saudara sepupuku yang menjadi penata rias utama di sana.
Onni Sanra yang tahu bahwa aku menyukai Ryeowook berusaha mendekatkanku dengannya. Alhasil usahanya sukses besar, dan tiga tahun yang lalu aku dan Ryeowook mulai berpacaran.
Akan tetapi semenjak tahun lalu, Ryeowook mulai sibuk dengan tur Super Junior K.R.Y di berbagai negara. Kami berdua semakin jarang berkomunikasi. Aku merasa sangat kesepian saat itu. Member Super Junior yang lain terkadang datang menghiburku. Tetapi karena sibuk, mereka tidak terlalu sering bertemu denganku. Hanya Sungmin yang selalu rutin menemuiku. Kami berdua sangat dekat, dan tanpa kami berdua sadari, kedekatan itu berubah menjadi kedekatan di luar batas kewajaran. Kami melakukan hal yang sebenarnya tidak boleh kami lakukan…
Aku hamil! Aku hamil akibat perbuatanku sendiri. Aku menangis hebat saat Sungmin membelaku mati-matian di depan member Super Junior lainnya ketika mereka mengetahui bahwa aku hamil. Sungmin mengatakan bahwa ini semua salahnya, tapi aku tahu, sangat tahu kalau ini bukan kesalahan Sungmin seorang. Ini juga salahku. Karena kesalahanku lah, aku tidak bisa menikah dengan orang yang paling kucintai. Sebulan yang lalu, aku menikah dengan Sungmin tanpa sepengetahuan Ryeowook.
Tujuanku datang menemui Ryeowook hari ini adalah untuk mengatakan hal ini. Sungmin bersikeras untuk menemaniku hari ini, tapi aku melarangnya. Akan lebih baik jika aku sendiri yang mengatakannya pada Ryeowook. Tetapi, sampai saat ini aku belum mengatakannya. Aku tidak sanggup…
“Bagaimana kabar para hyung?” tanya Ryeowook.
“Mereka baik-baik saja. Mereka juga titip salam untukmu.”
Kami berdua mengobrol seharian. Tak terasa waktu berjalan cepat dan hari sudah sore.
“Ah, sudah jam segini!” seruku saat melihat jam tanganku menunjukkan pukul empat sore.
“Kenapa buru-buru? Kau tidak menginap, chagiya?”
Aku menggeleng. “Aku sudah membeli tiket pesawat untuk pulang hari ini. Aku tidak bisa lama-lama di sini. Banyak yang harus kukerjakan di Seoul,” jelasku.
Ryeowook menghela napas kecewa.
“Kalau begitu aku pulang dulu,” ujarku seraya beranjak menuju pintu depan.
“Mari kuantar sampai bandara,” tawarnya.
“Tidak usah,” tolakku. “Aku naik taksi saja. Aku tidak ingin merepotkan oppa. Antar aku sampai depan hotel saja.”
Ternyata aku memang tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Mungkin lain kali saja, itupun jika aku berani mengatakannya.
“Terima kasih untuk hari ini, oppa. Aku senang sekali.” Hanya itu kalimat yang melintas di otakku saat aku dan Ryeowook sampai di lantai dasar.
Tiba-tiba Ryeowook memelukku, erat sekali. Aku hanya terperangah, tidak membalas pelukannya.
“Salam untuk suamimu, Sungmin,” bisiknya di telingaku.
Aku terbelalak, napasku tercekat, dan keringat dingin menjalari tubuhku. Darimana Ryeowook tahu kalau…
“Sanra noona yang memberitahukannya padaku. Sepertinya ia merasa bersalah padaku,” kata Ryeowook seakan-akan tahu apa yang ada di dalam pikiranku.
Aku menutup mulutku dengan tanganku, terlalu kaget dengan apa yang baru saja diungkapkan Ryeowook. Air mata mulai mengalir membasahi pipiku. Pundakku bergetar menahan isak tangis.
Ryeowook mengusap punggungku untuk menenangkanku. “Ini bukan salahmu. Kau anak yang baik.” Ia berusaha menghiburku.
Oppa, mianhe,” ucapku lirih sementara ia mengelus-elus rambutku.
Saat tangisanku sudah mereda, Ryeowook melepaskan pelukannya.
“Pulanglah,” ujarnya lembut sambil menghapus air mataku dengan jemarinya. “Kandunganmu baru tiga bulan kan? Kau harus banyak beristirahat.”
Aku memaksakan seulas senyumku padanya. Dengan mata yang masih sembab dan merah, aku berbalik pulang. Tanpa melambaikan tanganku, tanpa mengucapkan sepatah katapun salam perpisahan, aku berjalan menuju taksi yang tak jauh dari situ. Aku tidak sanggup.
Aku menengadahkan kepalaku ke atas, bukan untuk menatap langit merah yang terlihat indah, tapi agar air mataku yang mulai terasa panas di pelupuk mataku tidak menetes lagi. Tuhan, aku memang sudah menikah dengan Sungmin. Tapi, bolehkah aku tetap mencintai Ryeowook, mencintainya sampai akhir hayatku?




***

Thanks for read it ^^

Sunday, July 17, 2011

Love Really Hurts (Ryeowook POV)






Super Junior Fanfic
Main cast: Ryeowook, Hyobin (as readers)
Support cast: Sungmin, Yesung, Kyuhyun
Genre: Romance
Ratings: General/all age
author: @khansa_aquaizan / Song Sanra



This FF I made for someone special ^^ Hope you like it




Love Really Hurts

Aku membereskan bajuku dan memasukkannya ke dalam koper. Besok aku, Yesung hyung, dan Kyuhyun akan berangkat dari China menuju ke Hongkong. Ya, saat ini Super Junior K.R.Y sedang mengadakan tur ke berbagai negara. Tiba-tiba tanganku tidak sengaja menyentuh sebuah bingkai foto yang ada di dalam koperku. Aku mengambil bingkai foto tersebut. Foto itu selalu kubawa kemanapun aku pergi. Fotoku bersama dengan gadis yang kucintai.
Aku menaruh kembali bingkai foto itu. Hanya melihat foto gadis itu saja sudah membuat hatiku terasa sakit…
Ting tong, terdengar suara bel dari kamar hotelku. Aku buru-buru menghapus air mataku dan bergegas menuju pintu untuk melihat siapa yang datang.
Clek, aku membuka pintu. Betapa terkejutnya aku ketika melihat gadis yang kucintai berdiri di hadapanku.
“Hyobin?”
“Oppa!” serunya sambil memelukku erat sekali.
Sejenak aku ragu untuk memeluknya. Bagaimana tidak? Ia sudah bukan milikku lagi sekarang. Aku tidak tahu kenapa, tapi tanganku saat ini sudah berada di punggung gadis itu, memeluknya walaupun pelukan itu tidak seerat biasanya.
“Ada apa kau jauh-jauh ke sini?” tanyaku ramah berusaha menahan emosiku. Merasa air mataku mulai menggenang di pelupuk mataku, aku mengajaknya masuk. “Ayo masuk!”
Aku memandang gadis itu dari atas ke bawah saat ia melepaskan sepatu. Sekilas tidak ada perubahan yang tampak pada dirinya. Tapi aku tahu, ia sudah berubah. Dan matanya... Obat tetes mata dan make up-nya tidak cukup untuk menyembunyikan fakta bahwa ia tidak tidur semalaman, ia menangis. Pasti butuh keberanian yang besar baginya untuk menemuiku.
“Kau sudah sarapan?” Aku mengkhawatirkan keadaanya.
Ia mengangguk tanpa berani menatapku.
Aku menghela napas. “Kau bohong,” kataku. “Aku akan membuatkan sarapan untukmu, chagiya.”
Aku melangkahkan kakiku menuju dapur. Aku dan dia sudah berpacaran selama tiga tahun, oleh karena itu aku tahu kebiasaannya saat ia berbohong. Ia tidak akan berani menatap mataku, seperti yang dilakukannya sejak ia datang ke sini. Ia memang memandang ke wajahku, tapi sama sekali tidak berani menatap mataku.
Aku membuka kulkas mengambil telur dan susu, mengambil terigu dari kitchen set, dan mulai memasak omelet, makanan kesukaannya. Baru saja aku membalik adonannya, tiba-tiba aku merasakan seseorang memelukku dari belakang.
“Chagiya?” Aku membiarkan tangannya melingkar di tubuhku untuk beberapa saat. Omelet sudah matang. Aku lalu mematikan kompor dan membalikkan badanku ke arahnya. Aku memberanikan diriku menatap matanya. Tak kusangka ia balas menatapku.
“Aku kangen,” ucapnya.
Aku tersenyum, sedikit tertawa. Lucu sekali melihat tampangnya yang begitu manja mirip anak kucing. “Oppa juga,” balasku. “Oppa juga kangen Hyobin.”
Aku menatap wajah cantiknya begitu lama, ia juga masih menatapku. Tanpa kusadari, aku mengecup keningnya. Gadis itu mulai memejamkan matanya. Perlahan bibirku beralih ke hidungnya, dan… dan aku ingin sekali mengecup bibirnya, namun sedetik sebelum aku melakukannya, aku tersadar bahwa ia bukan milikku lagi.
“Omeletnya bisa dingin kalau tidak lekas dimakan,” ujarku sambil melepaskan pelukan. “Ayo, kita makan!”
Aku meninggalkan Hyobin yang masih terpaku di tempatnya menuju meja makan. Sepertinya ia heran kenapa aku tidak menciumnya. Tak lama kemudian ia mengikutiku dan duduk di meja makan. Ia mulai memasukan suapan pertamanya ke mulutnya. Aku mengernyitkan dahiku. Bukankah ia biasanya protes jika aku tidak mencium bibirnya?
“Hmm… ini enyak cekali,” katanya dengan mulut penuh omelet.
Aku tertawa.
“Itu karena aku sudah lama tidak membuatkan makanan untukmu, makanya omelet itu terasa enak,” ujarnya. “Oh iya, aku juga menambahkan bumbu rahasia.”
“Bumbu apa?” tanyanya penasaran.
“Bumbu cinta,” jawabku sedikit gombal.
Hyobin tampak kaget mendengar gombalanku.
“Oppa, bisa tolong ambilkan minuman untukku?”
“Oke,” sahutku seraya meninggalkan gadis itu sendiri di meja makan.
Aku mengambil gelas dari rak, dan mengisinya dengan air dari dispenser. Aku termenung. Mungkin saja itu adalah gombalanku yang terakhir untuk Hyobin. Ah, tidak! Seharusnya bukan ‘mungkin’ melainkan ‘pasti’. Ya, itu adalah yang terakhir!
“Ini.” Aku menyodorkan segelas air putih pada Hyobin.
Hyobin langsung meneguknya hingga habis. Sepertinya ia gugup sekali.
“Oh iya, ada perlu apa kau ke sini, chagiya?” tanyaku setelah ia selesai makan. “Kenapa tidak memberitahuku dulu?” Aku meremas-remas tanganku di bawah meja. Kali ini aku sendiri yang gugup. Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya, tapi aku ingin mendengarnya langsung dari mulutnya.
“Eh, itu… A-aku tiba-tiba ingin bertemu dengan oppa,” jawabnya sedikit terbata.
Aku tersenyum mendengar jawaban Hyobin. Ternyata ia belum sanggup mengatakannya padaku.
“Tapi kau kan bisa meneleponku dulu? Paling tidak oppa bisa menjemputmu di bandara,” ujarku. “Seandainya kau meminta oppa ke Seoul pun, oppa rela meningalkan pekerjaan oppa dan pergi ke sana.” Aku mengatakannya dengan tulus.
Aku masih ingat ketika Sanra noona mengenalkan Hyobin padaku lima tahun yang lalu. Dari awal aku melihat Hyobin, aku sudah tertarik pada gadis itu. Ia sesuai dengan tipe idealku. Tidak terlalu tinggi, sedikit manja dan kekanak-kanakan, juga mukanya yang imut. Aku suka itu.
“Bagaimana kabar para hyung?” tanyaku memulai percakapan.
“Mereka baik-baik saja. Mereka juga titip salam untukmu.”
Kami berdua mengobrol seharian. Tak terasa waktu berjalan cepat dan hari sudah sore.
“Ah, sudah jam segini!” seru Hyobin saat melihat jam tangannya.
“Kenapa buru-buru? Kau tidak menginap, chagiya?” tawarku.
Ia menggeleng. “Aku sudah membeli tiket pesawat untuk pulang hari ini. Aku tidak bisa lama-lama di sini. Banyak yang harus kukerjakan di Seoul,” jelasnya.
Aku menghela napas kecewa.
“Kalau begitu aku pulang dulu,” ujarnya seraya beranjak menuju pintu depan.
“Mari kuantar sampai bandara,” kataku seraya bangkit berdiri.
“Tidak usah.” Tolak Hyobin halus. “Aku naik taksi saja. Aku tidak ingin merepotkan oppa. Antar aku sampai depan hotel saja.”
Sekali lagi aku kecewa.
“Terima kasih untuk hari ini, oppa. Aku senang sekali,” ucap Hyobin saat kami tiba di lantai dasar.
Aku mengepalkan tanganku berusaha menahan diriku yang hendak memeluk gadis itu. Jujur saja, aku tidak ingin memeluknya. Aku tidak ingin perasaan itu muncul lagi di hatiku. Aku tidak ingin rasa sakit itu kembali menggoreskan luka di hatiku.
Saat aku berdebat dengan hatiku, tanganku sudah mengambil inisiatif sendiri untuk memeluk Hyobin. Kali ini pelukanku sangat erat, tidak seperti yang sebelum-sebelumnya.
“Salam untuk suamimu, Sungmin.” Tiba-tiba kata itu meluncur dengan sendirinya dari mulutku tepat di telinga Hyobin.
Aku tidak bisa melihat ekspresi mukanya karena saat ini aku sedang memeluknya. Tapi aku bisa merasakan jantungnya berdebar dengan kencang dan tubuhnya bergetar hebat.
“Sanra noona yang memberitahukannya padaku. Sepertinya ia merasa bersalah padaku,” ceritaku. Aku tahu ia pasti bertanya-tanya dalam hatinya darimana aku mengetahuinya.
Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Pagi itu sebelum aku, Yesung hyung dan Kyuhyun berangkat ke tempat konser di Tokyo, Sanra noona datang ke hotel tempat kami menginap. Aku sedikit terkejut karena noona memintaku berbicara empat mata dengannya. Aku bingung setengah mati saat noona mulai menangis. Tapi yang membuatku shock hingga rasanya jantungku bisa meledak saat itu juga adalah saat ia memberitahuku bahwa gadis yang kucintai menikah dengan orang yang sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri, Sungmin.
Aku jatuh terduduk. Aku tidak dapat mendeskripsikan perasaanku saat itu. Aku hanya ingat Yesung hyung dan Kyuhyun bergegas menghampiriku. Rupanya mereka mencuri dengar percakapanku dengan Sanra noona. Pandanganku kosong seketika itu juga, aku bisa merasakan mereka mengguncang-guncang tubuhku dan memberiku semangat, sementara noona masih menangis dihadapanku.
Berkali-kali Sanra noona memperbaiki make up-ku sesaat sebelum aku naik ke atas panggung. Aku juga tidak tahu kenapa air mataku tidak mau berhenti. Bahkan saat perform pun aku tidak bisa berkonsenterasi.
Aku menangis saat kami bertiga menyanyikan lagu The One I Love. Aku menangis saat aku menyanyikan lagu One Fine Spring Day. Lagu itu… aku pertama kali menyanyikan lagu itu di hadapannya, di hadapan Hyobin. Manager hyung memarahiku karena aku tidak dapat bersikap layaknya professional. Namun jika kulihat reaksi ELF yang menonton pertunjukan kami, sepertinya mereka mengira aku terlalu menghayati laguku makanya aku menangis.
Aku bisa merasakan bajuku basah saat aku membiarkan gadis itu menangis sepuasnya di bahuku. Aku juga mengusap-usap punggungnya untuk menenangkannya. “Ini bukan salahmu. Kau anak yang baik.” Aku berusaha menghiburnya.
“Oppa, mianhe,” ucapnya saat aku mengelus-elus rambutnya.
Aku melepasakan pelukanku. Sudah saatnya… sudah saatnya aku berpisah dengannya.
“Pulanglah,” ujarku lembut sambil menghapus air matanya dengan jemariku. “Kandunganmu baru tiga bulan kan? Kau harus banyak beristirahat.”
Hyobin memaksakan seulas senyumnya padaku. Dengan mata yang masih sembab dan merah, ia berbalik pulang. Tanpa melambaikan tangannya, tanpa mengucapkan sepatah katapun salam perpisahan, ia berjalan menuju taksi yang tak jauh dari situ.
Aku melihat punggungnya. Dulu aku paling benci saat punggung itu menjauh dari hadapanku. Aku paling benci saat ia pulang meninggalkanku di dorm. Namun sekarang, mungkin aku tidak akan pernah melihat punggung itu lagi. Ya, tidak akan pernah, batinku. Tanpa kusadari air mataku mulai membasahi pipiku. Aku menengadahkan kepalaku. Tuhan, walaupun kini gadis yang kucintai sudah menjadi milik orang lain, apa boleh aku tetap mencintainya, mencintainya sampai akhir hayatku?

***

Thanks for read it ^^